Menantang Badai dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Solok
Laporan RIJAL ISLAMY, Solok
Solok, PATRON.CO.ID - Pasangan Capt. Epyardi Asda, M.Mar dan Jon Firman Pandu, SH memenangkan Pilkada Kabupaten Solok 9 Desember 2020 dengan "susah payah". Pasangan nomor urut 02 tersebut meraih 59.625 suara, hanya unggul 814 suara atau 0,48 persen dari Paslon 01 Nofi Candra-Yulfadri Nurdin yang meraih 58.811 suara. Paslon nomor urut 03, Desra Ediwan Anantanur-Adli memperoleh 28.490 suara. Sementara, Paslon nomor urut 04, Iriadi-Agus Syahdeman yang meraih 22.048 suara. Perbedaan tipis (0,48 persen) ini, berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang hasilnya MK memutuskan untuk menguatkan keputusan KPU Kabupaten Solok.
Kemenangan Asda-Pandu dalam kontestasi dan eskalasi Pilkada yang "panas" di masa kampanye Pilkada, dipenuhi dengan friksi (gesekan) antarpendukung. Sengit, hingga ke level masyarakat "akar rumput". Masyarakat Kabupaten Solok terpolarisasi dan terbelah sesuai dengan pilihannya masing-masing.
Keempat pasangan dalam kontestasi tentu saja berkehendak baik dengan niat, itikad, pola dan kerja politiknya masing-masing untuk meraih kemenangan. Namun, kehendak Tuhan lah yang akhirnya berlaku. Tuhan akhirnya "menunjuk" Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu sebagai pemimpin Kabupaten Solok 2021-2024. Sebagai zat yang Maha Tahu, tentu saja segala yang terjadi di alam semesta telah "dituliskan" di lahul mahfudz, dan Tuhan tidak akan pernah mau menganiaya ciptaannya.
Amanah terhadap Asda-Pandu usai dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Solok pada 26 April 2021 lalu, langsung dijawab dengan melakukan beragam pembenahan di pemerintahan. Tentu saja, sebagai manusia biasa, yang tentu tak luput dari salah dan khilaf, Epyardi Asda bukanlah orang sempurna. Yang tak bisa menyenangkan hati semua orang. Yang tak bisa memenuhi segala keinginan dan segala kehendak. Muaranya, tentu saja adalah resistensi (perlawanan) dari berbagai arah. Resistensi ini, datang ibarat badai dan gelombang dahsyat.
Resistensi terhadap berawal dari serangkaian kebijakan Pemkab Solok yang dinilai "merusak" budaya di aparatur pemerintahan selama ini. Dengan latar belakang pengusaha, Epyardi ingin mengaplikasikan konsep bisnis dalam kepemimpinannya, terutama terhadap aparatur pemerintahan. Epyardi menginginkan kinerja aparaturnya, terukur dan ternilai. Sehingga, setiap anggaran daerah (input) yang dikeluarkan, bisa memberi output (hasil), outcome (dampak), efek (effect) bagi masyarakat. Namun, konsep yang berbeda, ditambah pola dan cara Epyardi mewujudkannya, dinilai "bertabrakan" dengan konsep pemerintahan yang lebih menitikberatkan ke konsep pelayanan.
Karakter Epyardi yang "keras", ditambah friksi (gesekan) yang dahsyat sejak masa kampanye, membuat masa awal pemerintahan Asda-Pandu jadi sorotan. Tidak hanya dari barisan para calon, tapi juga dari seluruh elemen masyarakat Kabupaten Solok, serta dari para perantau dan di luar Kabupaten Solok. Termasuk dengan mitra sejajarnya di pemerintahan, DPRD Kabupaten Solok.
Namun, segala resistensi itu dijawab Epyardi Asda dengan tak kalah "sengit". Sebagai sosok pekerja keras yang telah membuktikan dirinya mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha level nasional, Epyardi Asda seakan ingin memberikan contoh ke seluruh elemen di Kabupaten Solok, bahwa tak ada keberhasilan tanpa tantangan. Kesuksesan berbanding lurus dengan risiko. Sebagai mantan kapten kapal (nakhoda), Epyardi seperti ingin mengatakan bahwa badai harus ditantang, bukan untuk ditakuti, apalagi berbalik pulang. Menurutnya, pelaut tangguh, lahir dari ombak yang ganas. Latar belakang dan karakter itulah yang ingin "ditularkan" Epyardi ke seluruh masyarakat Kabupaten Solok.
Di balik itu semua, dari sejumlah pernyataan di berbagai kesempatan bertemu masyarakat dan koordinasi dengan seluruh ASN Pemkab Solok, Epyardi telah menyiratkan bahwa ada agenda dan rencana besar yang tengah dipersiapkannya. Yakni kemandirian ekonomi, kemandirian pola pikir, kemandirian bersikap dan kekuatan karakter sebagai orang Kabupaten Solok.
Sebagai daerah yang dianugerahi lahan yang luas dan subur, ternyata di Kabupaten Solok masih banyak yang berupa lahan tidur yang belum termanfaatkan secara maksimal. Kendala utama adalah, tidak adanya akses yang memadai untuk lahan-lahan tersebut. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan perkebunan tersebut, sangat tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Kendala lainnya, tidak tersedianya bibit-bibit unggul, ketersedian pupuk yang selalu langka saat dibutuhkan, hingga pemasaran yang tak tertata dengan baik. Akibatnya, masyarakat malas bertani dan lahan-lahan semakin "tidur lelap". Masyarakat malah merasa nyaman dengan pekerjaan serabutan, tapi menghasilkan uang di hari yang sama, meski secara akumulasi, sangat sedikit.
Paradigma seperti itulah yang coba diubah Asda-Pandu dengan berbagai program pemberdayaan. Jargon "Mambangkik Batang Tarandam" menurut Epyardi adalah untuk membangkitkan lagi semangat dan karakter masyarakat Kabupaten Solok sebagai pekerja keras. Masyarakat diminta untuk bangkit dan berjuang bersama, sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.
Konsep besar ini, seharusnya bisa terbaca dan terpahami oleh OPD Pemkab Solok, DPRD Kabuparen Solok, instansi lain, dan tentunya masyarakat luas. Tapi, apa yang terjadi? Konsep dan gebrakan "tak biasa" oleh Epyardi Asda tersebut, justru dbelokkan menjadi negatif dengan berbagai asumsi miring. Seperti ekskavator untuk disewakan secara ilegal, pemanfaatan untuk kepentingan pribadi, hingga uang pembeli ekskavator yang berasal dari honor 1.700 THL yang diputus kontrak. OPD Pemkab Solok dan DPRD Kabupaten Solok, yang seharusnya menjadi jembatan penghubung arus informasi dan opini antara pemerintahan dan masyarakat, justru cenderung membuat friksi (gesekan) semakin besar.
Pengalaman hidup dan karier politik Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu, ternyata tidak serta merta membuat segalanya menjadi mudah dalam perjalananan pemerintahan. Asda-Pandu dihadapkan pada persoalan klasik, birokrasi yang butuh proses. Sementara, baik Epyardi Asda maupun Jon Firman Pandu, sama sekali tidak memiliki latar belakang pemerintahan. Keduanya berlatar belakang pengusaha, yang pola dan alur kerjanya berorientasi hasil, bukan orientasi proses birokratis. Epyardi Asda ingin segala urusan serba kilat, namun birokrasi tetap ada proses yang harus dilalui, terkadang butuh waktu.
Sehingga, dalam perjalananannya, Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu dihadapkan pada sejumlah masalah yang berujung pada sejumlah konflik yang meruncing. Yang paling terlihat adalah adanya miskomunikasi dengan jajaran, baik di internal, horizontal maupun vertikal. Sehingga aparatur dinilai gagal dalam menerjemahkan keinginan kepala daerah.
Padahal, jauh-jauh hari Asda-Pandu telah menegaskan bahwa mereka telah mewakafkan diri ke masyarakat Kabupaten Solok. Hidup Epyardi yang sudah mapan, memiliki koneksi luas hingga ke tingkat pusat dan kisah hidupnya yang berjuang dari nol, yang semestinya menjadi sumber inspirasi, ditambah sosok Jon Pandu sebagai anak muda, seharusnya perjalanan pemerintahan berlangsung nyaman.
Dinamika politik yang tak kunjung padam, akhirnya mengarahkan Epyardi dan Jon Pandu ada konflik dan perpecahan. Sehingga, keduanya merenggang dan berseminya konflik dengan berbagai kepentingan. Konflik dengan sejumlah Anggota DPRD, dengan sejumlah kepala OPD (Organisasi Perangkat Daerah) Pemkab Solok, bahkan dengan masyarakat.
Meski, dengan badai gelombang dahsyat yang menerpa pemerintahan, satu-persatu mulai bisa diatasi dan dicarikan solusi. Komitmen Epyardi untuk mengubah budaya dan kebiasaan birokrasi dalam pengabdiannya ke masyarakat ternyata butuh proses. Bukan seperti membalikkan telapak tangan. Tapi, ternyata pemerintahan tetap berjalan dengan baik dan tanpa kendala. Secara bertahap, berbagai inovasi mulai lahir dari OPD Pemkab Solok, bahkan dari masyarakat. Ibarat semesta yang selalu berputar untuk mencapai titik keseimbangan, OPD-OPD Pemkab Solok mulai "terkontaminasi" dengan konsep dan gagasan-gagasan Epyardi. Menjadi kreatif dan inovatif.
Di sisi lain, meski kerangka dasarnya atau pondasinya sudah ada, Epyardi Asda dan Jon Pandu tetap butuh orang-orang yang kompeten, satu visi, dan memiliki komitmen mengabdi ke masyarakat. Disinilah filosofi "Mambangkik Batang Tarandam", bangkit bersama-sama dalam mengejar ketertinggalan dan mengembalikan marwah Kabupaten Solok dalam berbagai aspek. Butuh kerja keras, kerja sama dan kerja cerdas dari seluruh elemen.
"Saya tidak bisa sendiri saja membangun Kabupaten Solok. Saya membutuhkan bantuan dan dukungan dari semua lini masyarakat. Saya ingin membangkitkan potensi perekonomian masyarakat melalui pemberdayaan dan kekuatan karakter kita sebagai orang Solok. Jadi mari kita bangun daerah ini bersama-sama. Sebagai bentuk pengabdian kita kepada daerah dan mewujudkan tekad 'Mambangkik Batang Tarandam', Menjadikan Kabupaten Solok sebagai kabupaten terbaik di Sumatera Barat dan bangkit dari keterpurukan," ungkap Epyardi. (***)
Masuk Untuk Meninggalkan Komentar